Dalampenulisan skripsi ini penulis membahas mengenai masalah prosedur penyelesaian perkara pencemaran nama baik oleh pers yang dilakukan di Lembaga Ombudsman serta peran Ombudsman dalam menyelesaikan perkara pencemaran nama baik oleh Pers. Pers merupakan salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pendapat dan merupakan peranan penting bagi negara demokrasi.
Demokrasidari sudut pandang rakyat merupakan suatu asas kebebasan individu, seperti kebebasan dalam hal memilih, kebebasan pers, kebebasan beragama, berpendapat, dan lain-lain. Dengan adanya demokrasi, penyelesaian masalah dapat dilakukan dengan berunding bersama atau mufakat.
Dalamdemokrasi yang bersifat global, terdapat delapan prinsip yang dijadikan pedoman,yaitu: Pertama, partisipasi. Salah satu esensi demokrasi adalah pelibatan serta masyarakat dalam menjalankan dan menentukan proses politik. Kedua, inklusivitas. Demokrasi selalu memandang dan menempatkan individu setara secara politik.
Penyelesaianmasalah dalam negara demokrasi melalui? - 24285838 indahmonica7713 indahmonica7713 15.09.2019 PPKn Sekolah Menengah Pertama terjawab Penyelesaian masalah dalam negara demokrasi melalui? 1 Lihat jawaban Iklan Iklan kauul kauul Jawaban: • Cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rasa cinta tanah air kepada peserta didik
Apakahkamu lagi mencari jawaban dari pertanyaan Penyelesaian masalah di dalam negara demokrasi dilakukan melalui? Berikut pilihan jawabannya: Kekuatan Partai Politik; Aksi Demontrasi Mahasiswa; Musyawarah untuk menapai mufakat; Perdebatan yang lama dan panjang; Kunci jawabannya adalah: C. Musyawarah untuk menapai mufakat.
Praktikdemokrasi mulai terlihat dari adanya penyelesaian konflik Gerakan Aceh Merdeka dengan menggunakan mediator dari LSM di Uni Eropa. Konflik Papua juga mereda di tangan SBY yang mengoptimalkan pelaksanaan UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua. 75 SBY membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan PP No. 54/2004 yang dianggap 73
Penyelesaianmasalah dalam negara demokrasi dilakukan melalui? demonstrasi; musyawarah untuk mufakat; kekerasan; perdebatan yang panjang; pemaksaan oleh penguasa; Jawaban: B. musyawarah untuk mufakat. Dilansir dari Ensiklopedia, penyelesaian masalah dalam negara demokrasi dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat.
UPAYASOSIAL PENYELESAIAN HUKUM KICAUAN DI MEDIA SOSIAL. Indonesia merupakan negara pengguna sosial media aktif terbesar. Berdasarkan Laporan tahun 2016 'We Are Socio', dari total 262 juta penduduk Indonesia, sebanyak 132,7 juta penduduk adalah pengguna internet dan dari angka tersebut 106 juta di antaranya merupakan pengguna sosial media
Dinegara demokrasi, dalam melakukan penyelesaian masalah ini melalui jalur demokratis dan juga musyawarah. Umumnya, penyelesaian masalah dilakukan melalui perundingan atau diskusi secara damai sampai menemukan suatu solusi atau jalan keluar bersama yang udah disepakati. Sementara itu, kalo
PENYELESAIANSENGKETA MELALUI MEDIASI: PERAN ADVOKAD DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM . Ă— Close Log In. Log in with Facebook Log in with Implementasi E-litigasi Dalam Menegakkan Asas Cepat,Sederhana, Biaya ringan di Pengadilan Agama Kota Banjar ( Studi Analisis Perma No 1 Tahun 2019)
G9IGVy. Authors Bisariyadi Bisariyadi Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta Pusat Anna Triningsih Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta Pusat Meyrinda Rahmawaty H Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta Pusat Alia Harumdani W Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta Pusat DOI Keywords Dispute Settlement Elections, State Constitutional Democracy Abstract Every country in the world, moreover in every country which has implemented the way of life of democcratic and nation, presume that election is one of the important element as a marker of democracy of the country and also has a practical function of government political as a succession’s tool between the government parties and the oposition parties. In every democratic constitutional state, the election process has a purpose to embody will of the people into pattern of power without election process will not only be assessed by sticking to the existing legal framework but the laws, codes of conduct of the election and its implementation needs to be tested and adjusted if it is in accordance with its primary purpose or not without ignoring the rights of individuals or people. In the process of the general election, the election process does not always run smoothly. Various obstacles in the implementation of good elections that occurred both during and previous election, is a problem that certainly would have widely spread impact if not immediately resolved. The existence of problems in the election related to dissatisfaction of decision of the election or criminal violations and administrative which can influence the result of election is commonly known by electoral disputes. In order the election dispute does not disturb the constitutional system or system of government of a country or region, it requires an electoral dispute resolution mechanisms that effective and can give a fair decision to the main problem is how the benchmark of an electoral dispute resolution mechanisms that are effective? Because, if traced further and reflect on democracies country in the world, not all democracies country, especially the democracies country which basing on the supremacy of the constitution, has the same electoral dispute resolution mechanisms between one country to another country. This is very important, because by knowing the measure or the benchmark of the effectiveness of an electoral dispute resolution mechanisms, we can consider to choose which electoral dispute resolution mechanisms that appropriate and give the fairness to the parties and society in general. References BUKU Asshiddiqie Jimyl, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Arend Lijphart, Democracy in Pliral Societies, A Comparative Exploration, New Haven and Londo, USA Yale University Press, 1977, Budiarjo Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, Bedner Adriaan W., Peradilan Tata Usaha negara di Indonesia, Jakarta HuMa, Van Volenhoven Institute, KITLV-Jakarta, 2010. Burns James MacGregor, Government by the People, INew Jersey Prentice Hall, Inc., 1989 Carl Constiturional Government and Democracy, Theory and Practice in Europe and America, ed. Ke-5, Wletham, Mass, Blaidsdell Publisihing Company, 1967, Dyzenhaus David, Legality and Legitimasi Carl Schmitt, Hans Kelsen and Hermann Heller in Weimar, Oxford University Press, New York, 1999. Huntington, Samuel, The Third Wave Democratization In The Late Twentieth Century, Oklahoma University of Oklahoma Press , 1991. I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State, Jakarta Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008, Fakhruddin Anang, dalam Barry H. Weinberg, Penyelesaian Perselisihan Pemilu Prinsip-Prinsip Hukum yang Mengendalikan Gugatan Atas Pemilu The Resolution of Election Disputes Legal Principles That Control Election Challenges, Jakarta IFES-Indonesia, 2010, Garner Bryan A., Blacks Law Dictionary Abriged Seventh Edition, St. Paul, Minn West Group, 2000. International Commission of Jurist, The Dynamic Aspect of the Rule of Law in the Modern Age, bangkok International Commission of Jurist, 1965, International IDEA, Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi di Indonesia, Jakarta International IDEA, 2001, IDEA International, Electoral Justice The International IDEA Handbook, Stockholm Bulls Graphics, 2010, IDEA, Keadilan Pemilu Ringkasan Buku Acuan International IDEA, terjemahan atas kerjasama International IDEA, Bawaslu RI, dan Centro, Jakarta IDEA, 2010, IDEA International, Electoral Justice The International IDEA Handbook, Stockholm Bulls Graphics, 2010. IFES Indonesia, Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu, editor Chad Vickery, diterjemahkan oleh Ay San Harjono, Washington International Foundation for Electoral System, 2011, Mayo Henry N., an Introduction to Democratic Theory, New York Oxgford University Press, 1960_, Murphy Walter F., Constitutions, Constitutionalisme and Democracy dalam Douglas Greenberg eds., Constitutionalism and Democracy Transition in the Contemporary World, New Yor Oxford University Press, 1993. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010, Santoso, Topo, “Penyelesaian Sengketa Pemilu Suatu Perbandingan”, makalah disampaikan pada acara diskusi terbatas yang diselenggarakan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta 27 April 2011. Soedarsono, Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Demokrasi, penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu 2004 oleh Mahkamah Konstitusi, Jakarta Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006, Sargent Lyman Tower, Contemporary Political Ideologis, Chicago The Dorsey Press, 1984, Thaib, Dahlan, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Yogyakarta Liberty, 1993, Soekanto Soejono, Penelitian Hukum Normatif, 2010, Marzuki Peter Mahmud, Penelitian Hukum, 2009, The Carter Centre, Laporan Akhir Misi Pemantau Terbatas The Carter Centre untuk Pemilu Legislatif 9 April 2009 di Indonesia, Atlanta The Carter Centre, 2009, PERATURAN Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 072/PUU-II/2004 dan Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 073/PUU-II/2004. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/ tentang Penyelesaian Perselisihan hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Jawa Timur yang dalam pertimbangan hukumnya membuka kemungkinan bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa pelanggaran-pelanggaran pemilukada yang mempengaruhi hasil pemilu dan bukan hanya memeriksa perselisihan hasil penghitungan suara, begitu pula Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/ tentang pemilukada Kabupaten Bangli, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/ tentang pemilukada Kabupaten Lamongan dan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi lainnya. WEBSITE diunduh pada Rabu, 30 November 2011, pukul. WIB. Siegel, Stephen A, The Conscientious Congressman’s Guide to The Electoral Count Act of 1887, Florida Law Review, July, 2004, Diunduh pada Rabu, 30 November 2011, pukul WIB. Diakses melalui situs ACE Project laman Sumber referensi terjemahan diakses pada tanggal 6 Juli 2011 melalui “Well-functioning and responsive Electoral Dispute Resolution EDR mechanisms are essential to ensure proper processing of potential complains and appeals that main arise not only in relation to the final results but also challenges to the organization of voter registration processes, registration of political parties and the campaigning phase etc. EDR mechanisms can be both formal and informal. In the electoral world, many grievances are solved through information negotiations and dialogue. Formal mechanisms, however, are essential to ensure that potential challenges can be channelled through established structures in case it is not solved at a lower level. EDR institutions include EMBs, ordinary administrative/judiciary institutions, electoral and/or constitutional courts and the Parliament. ECES Experts have hands-on experience justice and juridical reform and from handling electoral complaints both through informal and formal channels. We believe that the strengthening of EDR mechanisms, given the way in which such institutions can contribute to the mitigation of conflict by providing an opportunity for legal outlets and independent decision-making, is an integral part of a strategy towards may prevent the escalation of elections- related violence.” Sejak awal tahun 2011 dalam suasana pembahasan Rancangan Undang- Undang Mahkamah Konstitusi yang baru, bermunculan wacana untuk mengeluarkan kewenangan penyelesaian Pemilukada dari Mahkamah Konstitusi, lihat Media Indonesia, “Kewenangan MK dalam Sengketa Pemilu Kada Dibatasi?”, diakses melalui laman dan Media Indonesia, “MK Jadi Masalah dalam Pemilu Kada” diakses melalui laman ttp// pada tanggal 3 September 2011. Diakses melalui laman dengan judul makalah “Electoral Dispute Resolution Systems Towards A Handbook And Related Material Summary of Concept Paper Developed And Presented By Orozco Henriquez And Dr. Raul Avila To EDR Expert Group Workshop Held In Mexico City, 27-28 May 2004”, MAKALAH Topo santoso, makalah berjudul “Perselisihan Hasil Pemilukada” disampaikan pada acara Diskusi Terbatas di Mahkamah Konstitusi pada tanggal 24 Maret 2011 di Jakarta.
- Seberapa kokoh demokrasi Indonesia? Ini pertanyaan kritis, sekaligus menggambarkan kegalauan menyaksikan arus perkembangan politik Indonesia yang tidak mencerminkan peningkatan kualitas. Sekalipun penyelenggaraan demokrasi secara formal prosedural dapat digolongkan lancar, damai, bahkan kian “mapan”. Akan tetapi, proses dan capaian perubahan tidak sesuai yang diharapkan. Corak reformasi politik justru makin kabur dikacaukan oleh banyaknya kasus korupsi, kegaduhan manuver politik dangkal, serta sejumlah keculasan menandai sengketa kuasa yang menyertai hingar bingar demokrasi. Di situlah muncul gejala, mungkin bisa disebut sinyalemen, bahwa demokrasi Indonesia terasa goyah. Jika demokrasi itu diibaratkan rumah atau bangunan, maka pilar penyangganya adalah parpol, kebebasan sipil, serta penegakan hukum. Karena itu kondisi dan kualitas pilar menjadi faktor penentu, apakah bangunan demokrasi itu akan kokoh dan kuat, atau sebaliknya rentan dan potensial roboh. Dari refleksi atas perjalanan sejauh ini menunjukkan, bahwa ketiga pilar itu sedang mengalami proses perapuhan serius. Pilar pertama, soal peran Partai politik misalnya. Sebagai kekuatan penting penyangga bangunan demokrasi, hari demi hari makin digerus oleh rayap-rayap yang membuat lapuk dan keropos, sehingga mudah patah dan hancur. Organisasi penghimpun kekuasaan bernama parpol masih dihinggapi problem feodalisme atau oligarki, yang membuat tidak berkembang. Parpol makin dirusak oleh ulah politisinya yang terjerat skandal korupsi-kekuasaan demi biaya politik dan memperkaya diri. Akibatnya, parpol diidentikkan dengan keculasan, justeru karena ulah politisi tersebut. Karenanya perlu direformasi serta dikuatkan untuk menumbuhkan derajat legitimasi dan trust dari masyarakat. Sementara itu pilar kedua menyangkut kebebasan sipil. Ukuran penting suatu demokrasi bekerja adalah ketersediaan ruang bagi masyarakat atau warga negara dalam mengartikulasikan pendapat dan pikiran, mengorganisir diri, serta bertukar atau mengakses informasi. Jika masyarakat sipil dapat tumbuh berkembang dan kuat maka akan mampu mengimbangi negara dengan elemen-elemen masyarakat politiknya. Sayangnya, perwujudan kebebasan masyarakat sipil itu terus terganggu. Gejala keterancaman itu terus bermunculan yang nampaknya berproses dan bersumber dari dua kutub selama lima tahun terakhir. Pada kutub negara muncul sejumlah regulasi dan instrumen kebijakan yang orientasinya mengekang kebebasan masyarakat sipil. Sementara pada kutub masyarakat sendiri berlangsung fenomena dominasi baru kelompok kuat pada golongan minoritas. Ada gejala kecenderungan menebalnya sentimen identitas yang secara sepihak mengambil alih peran negara seolah merepresentasikan dirinya sebagai kekuatan pengatur. Akibat dari semua itu, sebagian elemen-elemen masyarakat sipil tidak mendapatkan ruang aman dan nyaman di saat mengekspresikan kebebasannya. Sebut saja misalnya, peristiwa pembubaran diskusi oleh kelompok milisi, penyerangan tempat ibadah, sengketa antar etnik, atau ragam bentuk konflik identitas. Semua itu merupakan contoh-contoh nyata yang menggambarkan situasi memburuk di masyarakat pilar ketiga, penegakan hukum. Secara normatif, hukum merepresentasikan garis batas dan hubung dalam kelola kekuasaan, baik di aras negara maupun masyarakat. Melalui hukum, kekuasaan demokratis itu diabsahkan. Karena itu hukum dipercaya sebagai salah satu instrumen pokok untuk mengatasi sengketa, agar mencapai keadilan. Namun praktiknya, apa mau dikata, publik terlalu mudah menunjukkan fakta dan praktik-praktik kebobrokan hukum yang justru itu bersumber dari perilaku buruk aparat penegak hukum. Alih-alih menjadi penegak, justru yang terjadi meruntuhkan hukum itu sendiri. Misalnya oknum polisi, jaksa, hakim, maupun pengacara di mana mereka itu diberikan mandat sebagai penjaga nilai dan kewibawaan hukum malah terjebak dalam mafia kasus berkonspirasi dengan dengan elit ekonomi atau politik. Cerita-cerita buruk semacam itu berdampak pada rusaknya demokrasi Indonesia. Kelangsungan peristiwa yang menandai digerogotinya sendi-sendi hukum oleh aparat itulah yang memunculkan sindiran bahwa mempercayai hukum berarti merayakan ketidakpastian, atau mendukung kepalsuan. Membayangkan demokrasi Indonesia dengan pilar-pilar rapuh sebagaimana digambarkan di atas, maka wajar saja jika muncul sikap was-was, galau, atau kekhawatiran akan masa depan demokrasi begitu rentan, dan bisa saja setiap saat terancam roboh jika diterpa gelombang pasang krisis ekonomi dan politik. Atau peristiwa-peristiwa yang memiliki tekanan yang lebih besar dibanding kekuatan bangunan sehingga dapat saja meluluhlantakkan demokrasi Indonesia. Kalau hingga hari ini kita masih mampu menyelenggarakan pemilu, pemilukada, persidangan parlemen, serta kerja pemerintahan, namun kesemua itu dapat dianggap bagian saja dari ornamen kelangsungan sistem politik dan pemerintahan yang memang dilangsungkan secara formal. Padahal, demokrasi yang demikian tidak akan menghasilkan tenaga untuk menggapai tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi. Kita memerlukan demokrasi yang substantif. Melampaui dari sekadar ritual, rutinitas atau instrumentatif belaka. Sekarang solusinya adalah bagaimana menghadirkan corak bernegara yang mampu menjamin sistem pemerintahan akuntabel dan responsif, perlindungan hak-hak warga negara dari negara, serta penegakan hukum demi mewujudkan keadilan secara nyata. Oleh karena itulah, tantangan terbesar mencegah robohnya demokrasi, bagaimana memperbaiki dan memperkuat kembali pilar-pilar itu sesuai prinsip demokrasi yang benar, di atas fondasi cita-cita keindonesiaan. Sudah terlalu banyak politisi dihukum, baik oleh hakim karena urusan korupsi dan masalah pidana lainnya, maupun oleh rakyat dalam pemilu karena mengabaikan amanat. Namun demikian belum juga jera. Sekalipun kita menghujat dan mencaci maki politisi dan parpol, kita tidak mungkin mengingkari betapa pentingnya posisi dan peran parpol jika kita bersepakat dengan demokrasi. Oleh karena itulah, tantangan kita adalah di satu sisi harus selalu mengingatkan dan mengontrol parpol untuk segera berbenah, mereformasi organisasi mesin kekuasaan ini agar dikembalikan ke jalan yang benar. Sebegitu besarnya otoritas atau kuasa politik yang digenggamnya di dalam mengoperasikan kewenangannya tentu harus diimbangi komitmen membangun etika berpolitik, kemampuan organisasi dalam mencetak pemimpin, serta ketrampilan mengolah aspirasi rakyat menjadi kebijakan. Tujuannya agar parpol sebagai pilar demokrasi kompatibel dengan tugas dan fungsinya menjalankan sistem bernegara. Sementara pada sisi lain, upaya pendidikan politik, pencerahan dan pengorganisasian masyarakat sebagai entitas politik non-parlementaris sangat diperlukan sebagai strategi penyeimbang parpol. Masyarakat yang cerdas dan berdaya jangan dianggap sebagai ancaman parpol. Tetapi perlu dibaca sebagai partner, atau bagian dari kontestasi perebutan pengaruh. Bahkan, warga negara yang kritis dapat diolah sebagai daya dorong parpol untuk makin kompetitif dan berbenah diri. Di situ kita akan menyehatkan dua pilar parpol dan masyarakat sipil. Jikalau kita memiliki parpol yang kredibel dalam membentuk struktur parlemen, masyarakat yang kritis membentuk struktur pemerintahan, maka akan menghasilkan hukum yakni regulasi, produk perundangan serta kebijakan yang akuntabel sebagaimana dikerangkai dalam sistem SujitoPenulis adalah Dosen FISIPOL UGM* Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.
Jakarta - Indonesia masih berada pada transisi jalan di tempat yang berlarut-larut, bahkan di beberapa tempat mengalami kemunduran yang membuat kita masih jauh dari harapan demokrasi Indonesia belum terkonsolidasi yang ciri-cirinya 1 demokrasi bisa berjalan dan berproses dalam masa waktu yang lama; 2 ada penegakan hukum berjalan baik; 3 pengadilan yang independen; 4 pemilu yang adil dan kompetitif; 5 civil society yang kuat; 6. terpenuhinya hak-hak sipi, ekonomi, dan budaya warga Krusial Masalah demokrasi Indonesia yang terlihat krusial adalah absennya masyarakat sipil yang kritis kepada kekuasaan, buruknya kaderisasi partai politik, hilangnya oposisi, pemilu biaya tinggi karena masifnya politik uang dalam pemilu, kabar bohong dan berita palsu, rendahnya keadaban politik warga, masalah pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu yang belum tuntas hingga kini, kebebasan media dan kebebasan berkumpul, dan berserikat, serta masalah masalah intoleransi terhadap kelompok minoritas. Kita mengalami situasi krisis suara kritis kepada kekuasaan karena hampir semua elemen masyarakat sipil dari mulai LSM, kampus, media dan mahasiswa telah merapat dengan kekuasaan atau sekurang-kurangnya memilih untuk diam demi menghindari "stigma" berpihak kepada kelompok intoleran yang anti-Pancasila dan anti-demokrasi. Sedikit-banyak ini disebabkan oleh polarisasi politik yang tajam yang membelah Indonesia menjadi dua kubu, yang membuat setiap suara mengkritik pemerintah segera dikelompokkan ke kubu anti-pemerintah. Padahal absennya suara kritis adalah kehilangan besar untuk demokrasi yang membutuhkan kekuatan yang sehat untuk mengontrol perlu mendapat catatan secara khusus karena baru kali ini sejak era Reformasi kampus begitu berlomba-lomba merapat kepada kekuasaan, terlihat dari maraknya praktik kooptasi ikatan alumni dengan orang-orang di lingkaran istana yang jadi ketuanya, pemberian gelar doctor honoris causa kepada elite politik yang tidak didasarkan kepada kontribusi nyatanya kepada masyarakat dan ilmu pengetahuan melainkan lebih karena pertimbangan politik, absennya gerakan mahasiswa yang membawa gagasan bernas dan berani bersuara kritis kepada kekuasaan, dan kekuasaan sangat besar yang dimiliki pemerintah untuk menentukan rektor terpilih melalui kementerian dikti. Pengawasan atau surveilance atas aktivitas dosen baik di media sosial ataupun di dunia nyata merupakan gejala penghalang kebebasan akademik lainnya yang semakin melemahkan suara kritis dari ParpolPersoalan demokrasi terbesar kita saat ini ada pada lemahnya partai politik. Bukti persoalan partai politik bermula dari rekrutmen kader sebagian besar tidak serius dan asal-asalan. Tokoh masyarakat yang berkualitas, dosen, peneliti semakin sedikit yang terlibat di eksekutif maupun legislatif. Dua dekade setelah Reformasi, partai belum mulai menunjukkan ikhtiar yang serius dalam melakukan rekrutmen dan kaderisasi partai politik hanya dilakukan pada masa menjelang pemilu. Di sisi lain, pemilu dalam sistem proporsional terbuka tidak memperkuat pelembagaan partai politik karena kader yang loyal terhadap partai bisa dikalahkan oleh kader pendatang baru yang memenangkan kompetisi karena mampu mempraktikkan politik uang dengan lebih masif. Akhirnya sistem politik nasional diisi oleh kader-kader biaya tinggi karena masifnya praktik politik uang merupakan catatan lainnya. Ed Aspinall dan Ward Berenchot 2019 mencatat bahwa dari masa ke masa, pemilu di era Reformasi semakin mahal dari mulai level lokal sampai nasional dengan Pemilu 2019 sebagai pemilu termahal. Biaya pemilu yang tinggi ini berdampak pada maraknya praktik korupsi di berbagai level lembaga negara karena para calon terpilih baik di legislatif berkepentingan mengembalikan modal yang telah mereka SosialLemahnya internalisasi keadaban sipil civic virtue di antara warga negara sebagaimana tampak dalam perseteruan yang tajam, dangkal, dan kurang beradab antara netizen di media sosial merupakan catatan penting lainnya. Warga negara perlu belajar untuk berbeda pendapat atau pilihan politik sambil tetap berteman, bersahabat, dan bersaudara sebagai sesama anak bangsa. Maraknya ujaran kebencian, intoleransi, dan diskriminasi terhadap minoritas agama dan suku merupakan gejala yang mengkhawatirkan. Perbedaan pilihan politik atau keyakinan tidak boleh menggerus modal sosial kita berupa rasa saling percaya, toleransi, saling tolong menolong, dan saling menghargai perbedaan. Ancaman kebebasan media dan berekspresi seperti pemberangusan buku, pencekalan diskusi buku dan film, ancaman pidana untuk ilmuwan dari luar yang melakukan penelitian di Indonesia merupakan masalah lainnya. Penggunaan UU ITE untuk mempidanakan warga atau jurnalis merupakan ancaman lainnya untuk kebebasan 4 tahun pemerintahan berjalan, kritik dari pada analis dalam negeri maupun luar negeri mulai muncul. Ed Aspinal 2018, Tom Powel dan Eve Warburton 2018 dan 2019 menganalisis perkembangan demokrasi di Indonesia dan berargumen bahwa terjadi kemandekan dan bahkan kemunduran demokrasi di mana Presiden Jokowi mulai melakukan praktik non demokratis seperti membubarkan ormas tanpa proses hukum, meningkatnya intoleransi, semakin kuatnya polarisasi politik, masifnya kabar bohong dan pelanggaran hak asai partisipasi semua pihak baik intelektual, aktivis CSO's, jurnalis, dan partai politik untuk menyadari situasi kemandekan bahkan kemunduran demokrasi di Indonesia untuk bersama-sama berjuang menyelamatkan demokrasi di Indonesia. Rendahnya dialog dan sinergi di antara berbagai elemen itu adalah masalah demokrasi kita hari Associate Director LP3ES Center for Media and Democracy, dan Fajar Nursahid Direktur Eksekutif LP3ES mmu/mmu